Belajarlah dari Siti Hajar, Jangan Minta Cerai
Belajarlah dari Siti Hajar, Jangan Minta Cerai
“Umi…aku mau gugat cerai!” seorang perempuan cantik berusia 40 tahun duduk dihadapanku dan langsung mengutarakan isi hatinya.
“Hmm….yakin?” jawabku segera. Ini bukan pertamakalinya dia datang dan curhat seperti ini. Setiap kali suaminya pergi dia akan datang padaku dan mewek begini, namun jika suaminya pulang maka niat tersebut hilang begitu saja. Berganti dengan sanjungan dan harapan. Nisa, sebut saja namanya begitu.
“Ini lebaran yang kesepuluh Umi, dia tidak pulang. Seharusnya dia bisa berbagi, giliran. Jika lebaran idul fitri di sana, nah..lebaran idul adha seharusnya di sini, bersamaku.”
Nisa isteri kedua Pak Ahmad, seorang saudagar kopi yang cukup terpandang. Mereka sudah dikarunia dua orang putra dalam sepuluh tahun pernikahannya. Isteri pertama Pak Ahmad bernama Rara, tinggal di Kabupaten sebelah. Dia baru dikarunia anak perempuan setelah Ahmad menikahi Nisa lima tahun yang lalu. Rara seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya tamat Sekolah Dasar. Rara mengizinkan suaminya menikah lagi, karena saat itu mereka belum memiliki momongan.
Aku memandangi wajah kuyu Nisa yang tetap cantik meski tanpa kosmetik. Ini hari kedua setelah lebaran Idul adha 1441 H. Nisa bertandang padaku hanya ingin menangis. Menumpahkan kesedihannya.
“Sudahlah….sabar…kau tahu mengapa ada lebaran idul adha? Ada cinta dan pengorbanan di sana” ujarku sembari mengelus bahu kanannya, memberi empati.
Tulisan ini aku persembahkan untuk perempuan Kepahiang yang sedang gamang dan gelisah dengan hidupnya. Perempuan yang menyandang status sebagai isteri kedua, sebagai kepala keluarga atau sebagai tulang punggung keluarga. Mari kita belajar kepada Ibunda Siti Hajar. Kisah nyata yang dapat menguatkan kita semua.
Siti Hajar, perempuan mulia yang dikenang sepanjang masa. Dia viral di langit dan di bumi. Bukan karena elok rupa ataupun bentuk fisiknya, melainkan karena perjuangan, kesabaran dan kekuatan yang ia miliki. Kisahnya abadi dan diikuti oleh masyarakat muslim dalam melaksanakan ibadah haji dan umroh. Pada saat memasuki Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, kita akan melakukan Sa’i yaitu berjalan dan berlari sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwah. Di bukit antara Shafa dan Marwah sepanjang 450 meter inilah terkandung kisah keimanan yang pertama dari seorang isteri yang ditinggalkan suaminya di tempat yang tidak ada sarana untuk hidup. Perempuan itu adalah Siti Hajar, isteri kedua Nabi Ibrahim as dan ibu dari Ismail.
Awalnya pernikahan Siti Hajar berjalan sebagaimana keluarga lainnya. Bahkan pernikahan itu mendapat restu dari Siti Sarah, isteri pertama Ibrahim. Siti Sarah pula yang memilih Siti Hajar menjadi madunya karena di usia senja dia belum mendapatkan keturunan. Dia berharap, Hajar dapat memberikan seorang putra untuk suami yang sangat dicinta.
Namun, Sarah tetaplah seorang perempuan yang memendam cemburu. Dan, ketika Siti Hajar, madunya, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, Sarah pun diliputi rasa cemburu itu. Ia pun berjanji tidak akan mau tinggal dengan Hajar dan anaknya dalam satu atap.
“Iya…itu terjadi padaku Umi. Kami menikah resmi, tercatat di KUA karena isteri pertamanya merestui. Tapi pernikahan ini tidak seperti yang aku impikan Mi. Mas Ahmad hanya sesekali pulang. Dia juga jarang memberiku nafkah. Sekolah anak-anak aku semua yang biayai. Aku mau pisah aja Umi…” Nisa bertambah mellow dengan kisah Siti Hajar yang kuceritakan.
Nisa, perempuan kuat. Sebelum menjadi isteri kedua Pak Ahmad, dia sudah pernah menikah. Namun suaminya meninggal akibat kecelakaan tunggal. Lima tahun dia menjanda dengan satu orang anak. Nisa memiliki keterampilan menjahit. Hingga saat ini ada puluhan mesin jahit dengan empat orang karyawan yang membantunya. Secara ekonomi penghasilan Nisa cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Mungkin itu juga yang membuat Nisa jarang menerima uang nafkah dari suaminya. Dan diapun merasa sungkan untuk meminta, meski itu adalah haknya.
“Jangan putus asa dulu…mari belajar lagi dengan Ibunda Siti Hajar” jawabku lagi sembari melanjutkan kisah penuh makna dari kehidupan perempuan mulia, Siti Hajar.
Saat kecemburuan isteri pertama Ibrahim semakin membuncah, datanglah perintah dari Allah SWT kepada Nabi Ibrahim agar membawa istri keduanya, Siti Hajar, dan bayinya, Ismail, ke tanah Makkah. Maka, mereka pun berangkat untuk menempuh perjalanan jauh. Ibrahim dan istrinya bergantian menggendong bayi yang baru lahir hingga tiba di tanah Makkah. Pada waktu itu Makkah sangat tandus. Tak ada pohon, tidak ada air, dan sepi dari manusia. Saat itu mereka melihat ada bukit berwarna merah, di atasnya terdapat bekas rumah tua dari dahan-dahan kayu yang sudah mengering.
Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan bayinya Ismail. Siti Hajar pun merengek sambil menangis agar suaminya tidak meninggalkan dia dan bayinya di tempat sepi dan menyeramkan itu. Namun, Nabi Ibrahim tak peduli. ‘’Kemana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan ini? Apakah Allah yang memerintahkan kamu wahai suamiku?’’Siti Hajar bertanya kepada suaminya.
Tanpa menengok lagi kepada istrinya, Nabi Ibrahim pun menjawab singkat, ‘’Iya!’’
Tak ada lain yang bisa diperbuat Siti Hajar. Akhirnya ia pun berkata lirih penuh penyerahan diri kepada Allah SWT, ‘’Kalau begitu, Tuhan pasti tidak akan membiarkan kami.’’ Siti Hajar tampaknya yakin betul dengan janji Allah SWT. Dan, dalam diam, tanpa melihat lagi suaminya, ia pun menengadahkan wajahnya ke langit dan berdoa.
Sementara itu, dari kejauhan Nabi Ibrahim pun melakukan hal yang sama, menatap langit dengan mengangkat kedua tangannya dan berdoa, ‘’Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.’’ (Ibrahim: 37).
Menurut Muhammad Ali Sabouni dalam bukunya an Nubuwah wal Ambiya, sepeninggal Nabi Ibrahim, Siti Hajar hanya bisa pasrah. Ia merasa terhibur manakala melihat wajah bayinya yang manis dan memancarkan kasih sayang.
Pada awalnya ia tidak merasakan kesepian. Ia tidak menyadari kerasnya kehidupan di tengah lembah sunyi dan bukit bebatuan, hingga akhirnya ia kehabisan perbekalan hidup. Apalagi si kecil pun mulai kehausan dan kelaparan.Si ibu mulai panik. Air susunya pun sudah kering. Sedangkan si bayi terus menangis kelaparan dan kehausan.
Siti Hajar tampak bingung bagaimana mencari air. Dalam kebingungannya ia lari ke atas bukit dan melihat ke bawah. Ia melihat sebuah bukit lain, yang kemudian dikenal dengan Shafa, tampak dekat. Ia pun menuju bukit itu, barangkali melihat seseorang atau menemukan makanan dan minuman. Namun, ia tidak mendapatkan apa-apa.
Dari bukit Shafa, ia melihat bukit lain tampak dekat. Bukit itu kemudian dikenal Marwa. Ia pun berjalan menuju ke sana dan tidak mendapatkan bekas-bekas kehidupan. Ia berusaha bolak-balik di antara dua bukit itu hingga tujuh kali. Berusaha dalam bahasa Arab disebut sa’a. Dari kata inilah istilah sa’i diambil.
Setelah tujuh kali bolak-balik Shafa-Marwa, Siti Hajar pun kelelahan dan putus asa. Ia akhirnya ambruk di samping bayinya.Hatinya tercabik-cabik menunggu nasib. Ia berserah diri secara total.
Beberapa waktu kemudian ia bangun. Ia kumpulkan sisa tenaganya untuk melihat bayinya yang mungkin sudah meninggal dunia. Namun, tidak. ‘’Aku tidak melihat isyarat kematian anakku,’’ katanya lirih.
Demikianlah, Allah SWT telah mengutus Malaikat Jibril, dan dengan kedua sayapnya menyentuh tanah, sehingga muncul mata air yang mengalirkan kehidupan. Siti Hajar pun bangkit dengan sepenuh tenaga dan lupa apa yang baru ia alami. Ia segera mengambil air itu dan meminumkannya kepada bayinya, Ismail.
Kepada mata air itu, ia mengatakan, ‘’Zumi, zumi!’’ Air dan mata air itu kemudian dikenal sebagai Zam Zam, yang memberi kehidupan di tengah padang pasir tandus dan bukit bebatuan. Makkah yang berkemajuan kini pun sebenarnya berawal dari kisah perempuan ini.
“Tapi Umi…suamiku tidak sesoleh nabi Ibrahim. Dan aku juga tidak sempurna seperti Siti Hajar. Aku hanya perempuan biasa. Umurku sudah kepala empat, sudah tua. Aku ingin tenang memiliki suamiku sendiri. Paling tidak aku punya hak atas dia. Apalagi lebaran tahun ini ditengah pandemi. Suasana sangat sepi. Aku merasa kesepian Umi”…tanggis Nisa tak terbendung lagi.
“Aku ingin cerai!” suara Nisa meninggi.
“Jangan…jangan minta cerai Nis. Pikirkan lagi…meski suamimu tidak sesoleh Ibrahim, tidak bisa berlaku adil, tidak membuatmu bahagia. Bertahanlah. Minta keridhoannya. Karena ridhonya suami adalah ridhonya Allah. Jadikan suami sebagai tameng atas dosa-dosa kita di dunia.” Ujarku sedikit menasehati.
“Maksud Umi?” Nisa memandangku serius. Aku tersenyum, saatnya memberitahu Nisa sebuah rahasia. Rahasia perempuan yang sudah menikah dan tak merasa bahagia dalam pernikahannya. Untuk semua perempuan yang berstatus isteri. Menjadi isteri pertama, kedua, ketiga atau ke empat bukanlah aib. Karena islam mengizinkan dan mengatur hal tersebut dalam Alquran surat An Nisaa ayat 3. Apa rahasia besar itu? Jadikan suami sebagai tameng!
“Fungsi primer suami itu adalah untuk jadi tameng bagi dosa-dosa kita di neraka. Saat kita dapat ridho dari suami, maka semua dosa-dosa kita langsung dimaafkan sama Allah atas keridhoan suami tersebut. Jadi, suami duduk diem aja, itu sangat manfaat, tinggal kita aja gunakan fungsinya dengan maksimal. Lakukan apapun yang terbaik yang bisa dilakukan untuk dapatkan ridho suami. Dalam sebuah hadits shohih disebutkan ’Ayyumam roatin maatat wa zaujuha ‘anha roodhin dakholatil jannah’ Yang artinya ’Seorang istri meninggal dunia dan suaminya ridho sepenuhnya kepadanya, maka langsung masuk syurga’. Selebihnya, itu cuma fungsi-fungsi sekunder dari suami. Kejar dulu yang utama ini. Suami ngga kasih nafkah ya ngga apa-apa, yang penting sudah jadi suami Nisa. Jangan lepaskan, jangan dicerai. Biarkan dia jadi tameng saja bagi neraka. Kalau cerai, nanti Nisa langsung berhadapan dengan api neraka. Dosa-dosa ngga ada yang menghapusnya, kecuali amalan Nisa sangat spesial dan udah ngga ada dosa sama sekali. Nisa tinggal cari ridhonya Pak Ahmad. Kalau memang Nisa selama ini yang cari nafkah ya ngga apa-apa. Semua harta yang Nisa berikan ke anak dan rumah tangga itu semuanya terhitung sedekah yang sangat mulia. Jauh lebih mulia daripada sedekah ke anak yatim.”
”Koq bisa lebih mulia dari anak yatim?”
”Ya karena anak yatim ini bukan bagian dari hidup kita. Memberikannya adalah sedekah yang hukumnya sunnah. Sementara suami, sudah terikat dengan akad nikah, sudah menjadi bagian dari Nisa. Silahkan dibagi sedekah untuk orang lain dengan sedekah untuk keluarga, tapi yang untuk keluarga, itu yang lebih utama.”
”Tapi, kalau suami zalim bagaimana? Dia bukannya miskin Mii…tapi duitnya untuk isteri pertama semua. Dia anggab aku ini sudah mandiri, bisa cari uang sendiri. Tapi aku kan punya hak untuk dinafkahi Mii”
”Ya ngga apa-apa juga. Tetap dipertahankan. Karena semua perbuatan zalim akan kembali kepada yang melakukannya. Suami akan menanggung akibat yang dilakukannya. Siksaan Allah sangat pedih bagi suami yang tega menyakiti keluarganya. Sementara Nisa fokus aja terus cari ridhonya suami.”
“Jadi…sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?”
“Sampai Allah mengizinkan suamimu kembali dan membuatmu tersenyum ceria. Belajarlah dari Siti Hajar!” jawabku mengakhiri diskusi terapi hari ini.
Selamat Idul Adha 1441 H. Perempuan tangguh. Perempuan bahagia.
Tinggalkan Balasan