LITERASI DIGITAL
Bediwo dalam Workshop Menulis Cerita Rakyat
Zahra Publishing. Bediwo dalam Workshop Menulis Cerita Rakyat
Sabtu, 23/10/2021.
Bediwo atau kain batik Diwo Kepahiang hadir meramaikan kegiatan workshop menulis cerita rakyat di aula Perpusda Kabupaten Kepahiang.
Diwo berarti Dewa, berasal dari nama Kepa hyang. Kepa adalah Kapal dan Hyang adalah Dewa. Kepahiang berarti Kapal Dewa. Karena pengucapan Dewa agak sulit dilafalkan oleh suku rejang maka nama Dewa berganti menjadi Diwo.
Pei Diwo atau kain Diwo memiliki 5 motif utama yang merupakan doa dan puja puji bagi Kabupaten Kepahiang yang sedang bertumbuh.
Motif pertama adalah Selempang Emas yang berarti keagungan. Motif ini biasanya digunakan oleh para Raja Redjang zaman dahulu. Sehingga kain bermotif selempang emas menjadi sakral dan agung. Sebab pakaian bagi raja raja Rejang.
Motif kedua adalah Stabik yang berarti salam perdamaian. Ini adalah nilai-nilai luhur suku rejang dalam bermasyarakat. Sikap saling mengasihi, menghargai dan gotong royong sangat kental di masyarakat Kepahiang dari dulu hingga sekarang.
Motif ketiga adalah kembang lima yang berarti empat penjuru satu tujuan. Penduduk Kepahiang bukan semata-mata suku rejang, ada beberapa suku lain yang hidup saling berdampingan terutama penduduk pendatang dan transmigran. Karena perbedaan suku, bahasa dan adat istiadat ini membuat Kepahiang lebih berwarna. Dengan filosofi kembang lima, semua suku hidup damai dan berdampingan dengan satu tujuan yakni Kepahiang maju dan berkembang.
Motif keempat adalah huruf ka ga nga, aksara lokal yang usianya sudah berabad lamanya. Huruf ini menjadi ciri khas suku rejang dalam berkomunikasi dan berbudaya.
Motif kelima adalah pucuk rebung artinya tumbuh. Motif ini adalah doa bagi kabupaten Kepahiang yang baru mekar. Harapannya Kepahiang akan tumbuh dan berkembang di kemudian hari.
Duhai Cinta, Aku Pulang
Bertemu dan ngobrol dengan perempuan calon penulis di kelas sabusabu adalah hal yang biasa bagiku.
Mendengar keluh kesah atau sekedar curhatpun adalah hal yang tak asing bagiku.
Namun, ada yang tak biasa terjadi pada kisah perempuan perempuan hebat yang kutemui hari ini.
Kisah tentang cinta, cinta yang terperangkap dalam jiwa. Dan upaya keras mereka untuk menemukan jawaban atas segudang tanya tentang cinta.
“Umi, apakah cinta harus memiliki? Tidak bukan? Tidak semua cinta bisa kita miliki,” tanya perempuan muda pengelola TBM Pelita Bangsa ini. Perempuan energik dengan aura positif yang terpancar dari wajahnya.
Dia bertanya, dia pula yang menjawab, “Tidak semua cinta harus memiliki, iya kan Mii?” tanyanya lagi meminta pembenaran.
“Oh..nggak dong…kalo cinta dan memang benar benar cinta justru harus saling memiliki. Memiliki di sini bukan berarti dia harus selalu ada di sisi kita. Cinta itu keyakinan, ada ikatan yang tak terlihat namun sangat kuat mengikat kedua insan yang mencinta.”
Belum selesai penjelasanku tentang cinta, seorang perempuan macho disamping kananku berteriak, “Yes….! Cinta itu ikatan hati. Keren banget Umi. Ini yang aku tunggu-tunggu” jawab perempuan itu sembari mengepalkan tangan dan meninju tepi dinding rumah makan, tempat kami sedang diskusi.
Spontan kami tertawa melihat reaksinya itu. Sebut saja namanya Ani. Beliau volunteer di TBM Pelita Bangsa. Perempuan berpenampilan macho yang nampak unik dan berbeda dengan wanita kebanyakan.
“Umi, aku ingin bicara cinta melalui gemericik air. Kenapa dengan air? Bisakah menghitung air yang sedang berirama itu? Tentu tidak kan? Begitulah besarnya cintaku padamu. Sebanyak air yang tak bisa kau hitung itu”
Aku terkesima dibuatnya. Pandai dia merangkai kata, ucapku dalam hati.
“Cie ….cie…cie, begitu dalam cinta itu merasuk dalam kalbu, hingga aku tak bisa bernapas tanpamu,” tambah Santi, tutor PKBM Songgo Langit menimbali puisi cinta Ani tadi
“Eh ….lagi ngomongin apa sih? Bisa diulang nggak?” celetuk Bu Rini Pengelola PKBM Cendikia Ananda.
“Ada deh!” jawab Ani dan Santi berbarengan. Timbullah gelak tawa mereka memenuhi ruangan. Beberapa tamu yang sedang makan menoleh kearah kerumunan perempuan yang asyik bicara cinta ini.
“Aku suka membuat puisi. Mengungkap rasa melalui untaian kata. Meski terkadang sering disalahartikan. Dan sudah lama aku tidak menuangkan rasa itu. Aku takut orang bilang sok romantis, lebay atau menuju kegilaan.” papar Ani lagi.
“Mengapa harus memikirkan perasaan orang lain? Jadilah dirimu sendiri. Jika engkau suka menulis puisi, buatlah. Itu caramu berdialog menyampaikan isi hati. Tak usah pikirkan penilaian orang lain. Agar hidup tidak dibayangi oleh orang lain. Hiduplah merdeka, dengan keistimewaan yang kau punya.” jawabku berfilosofi.
“Oke, siap Umi. Aku akan kembali. Tapi dengan Dia yang berbeda!” jawabnya sigap dan percaya diri.
“No ..bukan kembali dengan Dia yang berbeda. Tapi kembalilah dengan dirimu yang berbeda”
“Duhai Cinta, Aku Pulang” jawab Santi memberi inspirasi.
“Wahai Cinta, Aku Pulang, Tapi pulang dengan aku yang berbeda!” Ani menyempurnakan.
“Good…bisa jadi judul buku ni,” Jawab Ketua TBM Pelita Bangsa.
“Yup…akan kutulis kisah cinta ini. Sayang aku kembali….” balas Ani lagi. Kamipun tertawa bersama sama tanpa menghiraukan pengunjung lain yang melirik kearah kami.
Biarlah kisah ini abadi.
Catatan kecil di rumah makan Kampoeng, Senin, 28 Juni 2021.
Sabusabu VII, Literasi Pemaafan di Bulan Ramadhan
Zahra Publishing. Literasi Pemaafan di Bulan Ramadhan
“Memendam Kebencian ibarat meminum racun namun berharap orang lain yang mati”
Kalimat motivasi ini disampaikan Umi Yesi di kelas menulis sabusabu angkatan VII. Tema kelas menulis yang digagas oleh TBM Cahaya PKBM Az Zahra Kepahiang ini adalah Literasi Pemaafan di Bulan Ramadhan, dilaksanakan pada hari Rabu, 28 April 2021 pukul 10.30 – 13.00 wib.
Kms Fahrudin, S.Pd Ketua TBM Cahaya menyampaikan bahwa tema pemaafan ini sengaja dipilih karena menyambut bulan suci Ramadhan 1442 H dan sekaligus memperingati Hari Buku Sedunia. Diharapkan dengan adanya kelas ini kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan maksimal setelah mampu memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang lain yang menyebabkan kebencian selama ini. Outputnya adalah menghasilkan karya berupa buku yang menceritakan tentang rasa.
Peserta larut dalam uraian materi yang disampaikan Umi Yesi mulai dari emosi negatif yang dapat menyebabkan penyakit fisik, cara mencegah kebencian hingga menuliskan semua rasa yang ada dalam kalimat dan diucapkan menjadi obat atau terapi hati. Mereka berjumlah 10 orang yaitu Resi, Fitri, Diah, Kinan, Elvi, Maulida, Zahra, Nabila, Selvi, Arian, dan Eni.
Tips cara mencegah kebencian antara lain mengakui adanya perasaan negatif yang ada, memilih untuk tetap membenci lalu mati karena racun emosi atau memilih untuk memaafkan, terima semua emosi yang muncul karena adanya kebencian tersebut, jangan berpura pura dan menahan rasa, tuliskan rasa yang ada lalu ceritakan kepada orang lain yang dapat membantu kita meminimalisir kebencian tersebut.
Kelas menulis bertambah meriah dengan penampilan cerita dari Kak Dyah bersama nenek Sheshe, boneka tangan yang diperankannya. Kak Dyah bercerita tentang rasa marah akibat dibenci seseorang. Dan untuk meredakan marah tersebut dengan cara masa bodoh dengan omongan orang lain dan lebih memilih berdamai pada diri dibandingkan sibuk membenci. Intinya enjoy aja jika ada orang yang tidak suka dengan kita. Teruslah berkarya, jangan pelihara marah karena perasaan itu akan membakar diri sendiri.
Terakhir Umi mengajarkan terapi emosi dengan cara menuliskan rasa yang dominan saat ini. Tak disangka semua peserta memiliki emosi negatif yang menghinggapi mereka seperti sedang gelisah, marah, takut, hampa, benci dll.
Dan satu persatu peserta mengungkapkan rasa tersebut sambil menahan tangis. Namun mereka merasa lega sudah bisa mengungkapkan emosi negatif yang ada selama ini.
PR peserta kelas sabusabu seperti biasa adalah menulis sambil bercerita. Kita tunggu karya mereka ya.