"PKBM AZ- ZAHRA""MEMBANGUN PERADABAN YANG BERMARTABAT" "MARI KITA TUNTASKAN WAJIB BELAJAR DUA BELAS TAHUN""TIDAK ADA KATA TERLAMBAT UNTUK BELAJAR"

Kelas menulis

Peringati Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Literasi Budaya

Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia maka pada Hari Rabu, 28 Oktober 2020 TBM Cahaya PKBM Az zahra Kepahiang mengadakan pelatihan menulis dengan tema Literasi Budaya Pengembangan Destinasi Wisata dan Budaya di Kepahiang.

Hadir dan membuka acara tersebut Franco Escobar, S.Kom. Komisi Pendidikan DPRD Kab Kepahiang. Hadir juga Dr. Hartono, M.Pd Kadis Dikbud Kab Kepahiang. Ibu Suriani, M.Pd. Kabid Pembinaan PAUD dan PNF. Bapak Sadikin, S.Pd Kabid Perpustakaan dan Kearsipan Daerah. Serta Yogi Sumantri dan Ayu dari Rumah BUMN Kepahiang.

Narasumber kegiatan adalah Kimli Haroswati, S.Pd. M.TPd Ketua FTBM Provinsi Bengkulu dengan materi berjudul Pengelolaan TBM Dalam Rangka Pengembangan Destinasi Wisata Dan Budaya. Emong Soewandi, Budayawan Kepahiang dengan materi berjudul Literasi Budaya Dalam Rangka Pengembangan Destinasi Wisata Dan Budaya. Dan Umi Yesi, penulis buku yang memberikan tips dan trik menulis semudah bercerita.

Hasil akhir kegiatan ini nanti adalah terciptanya para penulis yang mampu menulis buku terutama tentang budaya-budaya yang ada di Kabupaten Kepahiang.

“Semua peserta yang hadir akan mendapatkan e-sertifikat dan karya-karnyanya akan diterbitkan dan dicetak menjadi buku.” ujar Kms Fahrudin, S.Pd. Ketua TBM Cahaya yang menjadi Ketua panitia kegiatan.

Kegiatan ini disponsori oleh TBM Cahaya bekerjasama dengan FTBM Provinsi Bengkulu dan Rumah BUMN Kepahiang.

Bu Nyai…Pelakor

“Hebat sekali Bu Nyai ini ya…serba bisa. Tapi apakah dia sadar diri jika sudah menyakiti perempuan lain dan anak-anaknya. Perlu ibu-ibu ketahui bahwa dia telah merebut suami orang. Suami dari teman pengajianku. Dasar pelakor!”

Bu Bos memberi komentar kegiatan Bu Nyai yang membantu seorang anak terlepas dari usahanya untuk bunuh diri. Ku lirik waktu di sisi kiri ponselku, pukul 23.15 wib. Hampir tengah malam. Tidak ada yang merespon ucapan  Bu Bos itu, mungkin kawan-kawan grup sudah tidur atau mereka terkejut dan tak tahu harus komentar apa. Keterkejutan yang sama yang kurasakan. Benarkah apa yang disampaikan Bu Bos itu, bahwa Bu Nyai yang terkenal cerdas dan sholehah itu adalah seorang pelakor? Aku gelisah.

Aku tunggu respon ibu-ibu yang lain. Ini berita luar biasa tentunya. Harusnya akan banyak komentar. Pukul 24.20 wib, tak ada respon. Aku semakin gelisah. Ku paksakan memejamkan mata berusaha menghilangkan prasangka. Hingga azan subuh berkumandang, perasaan gelisah ini tak hilang.

Aku bangun, menuju kamar mandi, membersihkan diri dan berwudhu. Dingin air meresap dikulit sedikit mengusir rasa galau. Ku basuh muka dengan sedikit tekanan agar kantukku hilang dan mengencangkan kulit. Maklum di usia hampir kepala empat ini, kerut-kerut kecil sudah mulai mengerogoti wajah bulatku. Dan aku masih sendiri. Masih jomblo di usia 39 tahun. Kenyataan yang harus kualami. Rasa gelisah itu kembali mengayut di hati.

Subuh, dua rakaat kujalani dengan lebih khidmad. Terbayang wajah Bu Nyai yang cantik, cerdas dan disukai semua orang. Selain cantik dia gemar berbagi dengan sesama. Melalui Yayasan yang dia pimpin, ratusan anak yatim/piatu dan dhuafa mendapatkan layanan sekolah gratis. Dan ratusan lansia mendapatkan santunan serta pendampingan. Aku memujanya, mengagumi kecantikan, kecerdasan dan sikap dermawannya. Tapi status whatsapps Bu Bu Bos tadi mengusik hati nurani. Apakah benar Bu Nyai seorang pelakor?

Pelakor merupakan akronim dari ‘perebut lelaki orang’. Istilah ini diidentikkan dengan perempuan yang memicu keributan akibat merebut seorang laki-laki (suami) dari istri sahnya. Perbuatan tersebut biasanya dikenal dengan istilah selingkuh. Secara umum, istilah ini sangat berpihak kepada laki-laki karena meminggirkan peran perempuan dalam suatu hubungan.  Aaah…hatiku benar-benar resah.

Selesai sholat, aku berdoa. Kali ini aku tak lagi meminta perihal jodoh pada Allah. Aku pasrah. Aku ingat pesan Bu Nyai beberapa hari yang lalu.

“Jika keinginanmu belum terkabul, perbaiki doanya. Luaskan niatnya” nasehat Bu Nyai dengan senyum khasnya. Selalu bikin adem setiap kali memandangnya. Dia punya kharisma kuat dan aku mengaguminya.

“Maksud Bu Nyai? Bagaimana meluaskan niat itu?” tanyaku tak mengerti.

“Berhenti dulu minta jodoh kepada Allah, jangan memaksa untuk terkabulnya doa. Ganti doamu dengan mendoakan orang lain yang nasibnya sama denganmu. Luaskan doamu…sebut satu per satu sahabat, tetangga atau orang lain yang belum menikah agar segera bertemu jodohnya. Sejatinya doa untuk orang lain itu adalah doa bagi diri kita sendiri.” Bu Nyai menasehati, membuatku berpikir keras. Bagaimana aku bisa mendoakan orang lain sementara doaku sendiri saja belum terkabulkan.

“Bisa jadi menurut Allah, Dinda belum siap menikah” lanjutnya.

“Belum siap bagaimana? Umurku udah hampir kepala empat Nyai. Uban sudah ada dimana-mana, pipi juga udah mulai reot dan keriput. Jodohnya aja yang belum ada” jawabku sedikit berapi-api. Mengutuk diri sendiri dengan nasib yang ku alami. Mengapa harus aku yang menjomblo? Hampir semua teman-temanku sudah dikarunia anak-anak kini, bahkan ada yang sudah memiliki cucu. Lalu dimana jodohku?

“Maksudnya, Allah tahu  kau belum siap. Bisa jadi kalau sudah menikah Dinda jauh dari Allah karena sibuk ngurusi suami. Nanti Dinda tidak lagi shalat dhuha, tidak lagi ikut kajian setiap Selasa jika sudah menikah. Allah tahu itu, maka dia tunda jodohmu. Bukan tidak ada, tapi di tunda. Ingat ya…ditunda, maka bersabarlah. Doakan orang lain…rayu allah….minta padanya dengan niat yang luas” Bu Nyai mendekat dan mengelus punggung belakangku. Terasa hangat…

“Dinda tahu caranya meluaskan niat agar Allah memberikan jodoh terbaikmu?” tanyanya. Aku mengeleng…karena aku juga belum mengerti apa dan bagaimana caranya.

“Rubah doamu, begini …Ya Allah…jika Engkau berkenan berilah hamba seorang lelaki shaleh sebagai suamiku. Hamba berjanji akan lebih taat kepada-Mu dengan ketaatan pada suamiku nanti.  Hamba akan menjadi teman terbaik dan ibu terbaik bagi anak-anakku kelak. Jika Engkau izinkan Ya Allah…Hamba akan mengabdi sepenuh hati meraih ridho suamiku nanti. Hamba ikhlas….Hamba pasrah ya rabb” Bu Nyai memberiku sugesti, memintaku mengulang kalimat tersebut dengan khusuk, berharap penuh pada sang pemberi kasih, Allahi rabbi.

Maka aku mengingat ingat beberapa sahabat yang kini sedang sendiri, kebanyakan mereka menjadi janda karena berbagai permasalahan rumah tangga mereka. Aku menyebut nama mereka satu persatu dan mendoakan mereka agar segera dipertemukan dengan jodoh pilihan Allah. Jodoh yang akan membawa ke Jannah, bukan karena kebutuhan semata.

Aku tidak meminta jodoh untukku, aku meminta jodoh untuk teman-temanku yang Single Parent. Mereka berjuang menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anak mereka. Perempuan Kepala Keluarga. Mereka lebih membutuhkan pendamping daripada aku. Toh…aku tidak sendiri di rumah ini, ada Kania anak yatim piatu yang tinggal serumah denganku.

Kania, gadis berumur 12 tahun yang hidup sendirian karena ayah dan ibunya meninggal kecelakaan tunggal.  Aku mengajak gadis kecil itu tinggal bersamaku dan memintanya melanjutkan sekolah. Rupanya Kania hanya bersekolah sampai kelas 5 SD saja. Dia putus sekolah karena faktor ekonomi keluarga.  Inilah awal aku mengenal Bu Nyai. Perempuan baik hati yang menerima Kania sekolah di Yayasannya. Sekolah nonformal yaitu paket A setara SD. Dari awal berjumpa aku sudah jatuh cinta pada kharismanya.

Ah ya….ingatanku kembali pada status whatsapps Bu Bos di grup organisasi perempuan tadi malam. Apakah sudah ada yang komentar? Apakah Bu Nyai sudah membaca? Bagaimana reaksinya? Apakah benar dia Pelakor? Segudang tanda tanya mengusik hatiku.  

Aku buka ponsel dan menyalakan wifi rumah. Punyi khas tanda wa masuk ramai terdengar, maklum banyak group yang aku ikuti. Komunikasi lewat whatsaaps sangat membantu di zaman serba online ini. Aku mencari grup organisasi perempuan, membukanya. Dan….tak ada komentar. Aneh….grup ini seolah terkunci.

Aku harus menelpon Bu Nyai. Aku tidak bisa menahannya lagi.

“Assallamu alaikum Dinda, tumben telpon pagi-pagi?” suara khas Bu Nyai menjawab telponku seolah tak terjadi apa-apa. Apakah dia tidak punya kuota sehingga tidak baca status wa grup?

“Wa alaikum salam, Bu Nyai sudah baca status Bu Bos di Grup organisasi perempuan?” tanyaku tanpa basa basi.

“Belum…status apa? Masih pagi ini…belum sempat buka wa, masih sibuk berbenah di rumah.” Nah…kan, pantas saja dia tidak komentar. Ternyata dia belum buka wa.

“Itu… Bu Bos bilang kalau Bu Nyai pelakor…merebut suami temannya”

“Astaqfirullah al adzim….innalillahi wa inna illahi ….serius Din?”

“Iya…coba Bu Nyai lihat di grup, maaf ya”

“Oh ya…terimakasih infonya ya Din. Nanti saya lihat…”

Percakapan itu ku akhiri. Aku menunggu balasan Bu Nyai di grup. Apa reaksinya dengan kalimat Bu Bos yang cukup menohok itu. Apa benar dia seorang pelakor?

Hening.

BERSAMBUNG

Belajarlah dari Siti Hajar, Jangan Minta Cerai

Belajarlah dari Siti Hajar, Jangan Minta Cerai

“Umi…aku mau gugat cerai!” seorang perempuan cantik berusia 40 tahun duduk dihadapanku dan langsung mengutarakan isi hatinya.

“Hmm….yakin?” jawabku segera. Ini bukan pertamakalinya dia datang dan curhat seperti ini. Setiap kali suaminya pergi dia akan datang padaku dan mewek begini, namun jika suaminya pulang maka niat tersebut hilang begitu saja. Berganti dengan sanjungan dan harapan. Nisa, sebut saja namanya begitu.

“Ini lebaran yang kesepuluh Umi, dia tidak pulang. Seharusnya dia bisa berbagi, giliran. Jika lebaran idul fitri di sana, nah..lebaran idul adha seharusnya di sini, bersamaku.”

Nisa isteri kedua Pak Ahmad, seorang saudagar kopi yang cukup terpandang. Mereka sudah dikarunia dua orang putra dalam sepuluh tahun pernikahannya. Isteri pertama Pak Ahmad bernama Rara, tinggal di Kabupaten sebelah. Dia baru dikarunia anak perempuan setelah Ahmad menikahi Nisa lima tahun yang lalu. Rara seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya tamat Sekolah Dasar. Rara mengizinkan suaminya menikah lagi, karena saat itu mereka belum memiliki momongan.

Aku memandangi wajah kuyu Nisa yang tetap cantik meski tanpa kosmetik. Ini hari kedua setelah lebaran Idul adha 1441 H. Nisa bertandang padaku hanya ingin menangis. Menumpahkan kesedihannya.

“Sudahlah….sabar…kau tahu mengapa ada lebaran idul adha? Ada cinta dan pengorbanan di sana” ujarku sembari mengelus bahu kanannya, memberi empati.

Tulisan ini aku persembahkan untuk perempuan Kepahiang yang sedang gamang dan gelisah dengan hidupnya. Perempuan yang menyandang status sebagai isteri kedua, sebagai kepala keluarga atau sebagai tulang punggung keluarga. Mari kita belajar kepada Ibunda Siti Hajar. Kisah nyata yang dapat menguatkan kita semua.

 

Siti Hajar, perempuan mulia yang dikenang sepanjang masa. Dia viral di langit dan di bumi. Bukan karena elok rupa ataupun bentuk fisiknya, melainkan karena perjuangan, kesabaran dan kekuatan yang ia miliki. Kisahnya abadi dan diikuti oleh masyarakat muslim dalam melaksanakan ibadah haji dan umroh. Pada saat memasuki Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, kita akan melakukan Sa’i yaitu berjalan dan berlari sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwah. Di bukit antara Shafa dan Marwah sepanjang 450 meter inilah terkandung kisah keimanan yang pertama dari seorang isteri yang ditinggalkan suaminya di tempat yang tidak ada sarana untuk hidup. Perempuan itu adalah Siti Hajar, isteri kedua Nabi Ibrahim as dan ibu dari Ismail.

Awalnya pernikahan Siti Hajar berjalan sebagaimana keluarga lainnya. Bahkan pernikahan itu mendapat restu dari Siti Sarah, isteri pertama Ibrahim. Siti Sarah pula yang memilih Siti Hajar menjadi madunya karena di usia senja dia belum mendapatkan keturunan. Dia berharap, Hajar dapat memberikan seorang putra untuk suami yang sangat dicinta.

Namun, Sarah tetaplah seorang perempuan yang memendam cemburu. Dan, ketika Siti Hajar, madunya, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, Sarah pun diliputi rasa cemburu itu. Ia pun berjanji tidak akan mau tinggal dengan Hajar dan anaknya dalam satu atap.

“Iya…itu terjadi padaku Umi. Kami menikah resmi, tercatat di KUA karena isteri pertamanya merestui. Tapi pernikahan ini tidak seperti yang aku impikan Mi. Mas Ahmad hanya sesekali pulang. Dia juga jarang memberiku nafkah. Sekolah anak-anak aku semua yang biayai. Aku mau pisah aja Umi…” Nisa bertambah mellow dengan kisah Siti Hajar yang kuceritakan.

Nisa, perempuan kuat. Sebelum menjadi isteri kedua Pak Ahmad, dia sudah pernah menikah. Namun suaminya meninggal akibat kecelakaan tunggal. Lima tahun dia menjanda dengan satu orang anak. Nisa memiliki keterampilan menjahit. Hingga saat ini ada puluhan mesin jahit dengan empat orang karyawan yang membantunya. Secara ekonomi penghasilan Nisa cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Mungkin itu juga yang membuat Nisa jarang menerima uang nafkah dari suaminya. Dan diapun merasa sungkan untuk meminta, meski itu adalah haknya.

“Jangan putus asa dulu…mari belajar lagi dengan Ibunda Siti Hajar” jawabku lagi sembari melanjutkan kisah penuh makna dari kehidupan perempuan mulia, Siti Hajar.

Saat kecemburuan isteri pertama Ibrahim semakin membuncah, datanglah perintah dari Allah SWT kepada Nabi Ibrahim agar membawa istri keduanya, Siti Hajar, dan bayinya, Ismail, ke tanah Makkah. Maka, mereka pun berangkat untuk menempuh perjalanan jauh. Ibrahim dan istrinya bergantian menggendong bayi yang baru lahir hingga tiba di tanah Makkah. Pada waktu itu Makkah sangat tandus. Tak ada pohon, tidak ada air, dan sepi dari manusia. Saat itu mereka melihat ada bukit berwarna merah, di atasnya terdapat bekas rumah tua dari dahan-dahan kayu yang sudah mengering.

Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan bayinya Ismail. Siti Hajar pun merengek sambil menangis agar suaminya tidak meninggalkan dia dan bayinya di tempat sepi dan menyeramkan itu. Namun, Nabi Ibrahim tak peduli. ‘’Kemana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan ini? Apakah Allah yang memerintahkan kamu wahai suamiku?’’Siti Hajar bertanya kepada suaminya.

Tanpa menengok lagi kepada istrinya, Nabi Ibrahim pun menjawab singkat, ‘’Iya!’’

 

Tak ada lain yang bisa diperbuat Siti Hajar. Akhirnya ia pun berkata lirih penuh penyerahan diri kepada Allah SWT, ‘’Kalau begitu, Tuhan pasti tidak akan membiarkan kami.’’ Siti Hajar tampaknya yakin betul dengan janji Allah SWT. Dan, dalam diam, tanpa melihat lagi suaminya, ia pun menengadahkan wajahnya ke langit dan berdoa.

Sementara itu, dari kejauhan Nabi Ibrahim pun melakukan hal yang sama, menatap langit dengan mengangkat kedua tangannya dan berdoa, ‘’Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.’’ (Ibrahim: 37).

Menurut Muhammad Ali Sabouni dalam bukunya an Nubuwah wal Ambiya, sepeninggal Nabi Ibrahim, Siti Hajar hanya bisa pasrah. Ia merasa terhibur manakala melihat wajah bayinya yang manis dan memancarkan kasih sayang.

Pada awalnya ia tidak merasakan kesepian. Ia tidak menyadari kerasnya kehidupan di tengah lembah sunyi dan bukit bebatuan, hingga akhirnya ia kehabisan perbekalan hidup. Apalagi si kecil pun mulai kehausan dan kelaparan.Si ibu mulai panik. Air susunya pun sudah kering. Sedangkan si bayi terus menangis kelaparan dan kehausan.

Siti Hajar tampak bingung bagaimana mencari air. Dalam kebingungannya ia lari ke atas bukit dan melihat ke bawah. Ia melihat sebuah bukit lain, yang kemudian dikenal dengan Shafa, tampak dekat. Ia pun menuju bukit itu, barangkali melihat seseorang atau menemukan makanan dan minuman. Namun, ia tidak mendapatkan apa-apa.

Dari bukit Shafa, ia melihat bukit lain tampak dekat. Bukit itu kemudian dikenal Marwa. Ia pun berjalan menuju ke sana dan tidak mendapatkan bekas-bekas kehidupan. Ia berusaha bolak-balik di antara dua bukit itu hingga tujuh kali. Berusaha dalam bahasa Arab disebut sa’a. Dari kata inilah istilah sa’i diambil.

Setelah tujuh kali bolak-balik Shafa-Marwa, Siti Hajar pun kelelahan dan putus asa. Ia akhirnya ambruk di samping bayinya.Hatinya tercabik-cabik menunggu nasib. Ia berserah diri secara total.

Beberapa waktu kemudian ia bangun. Ia kumpulkan sisa tenaganya untuk melihat bayinya yang mungkin sudah meninggal dunia. Namun, tidak. ‘’Aku tidak melihat isyarat kematian anakku,’’ katanya lirih.

Demikianlah, Allah SWT telah mengutus Malaikat Jibril, dan dengan kedua sayapnya menyentuh tanah, sehingga muncul mata air yang mengalirkan kehidupan. Siti Hajar pun bangkit dengan sepenuh tenaga dan lupa apa yang baru ia alami. Ia segera mengambil air itu dan meminumkannya kepada bayinya, Ismail.

Kepada mata air itu, ia mengatakan, ‘’Zumi, zumi!’’ Air dan mata air itu kemudian dikenal sebagai Zam Zam, yang memberi kehidupan di tengah padang pasir tandus dan bukit bebatuan. Makkah yang berkemajuan kini pun sebenarnya berawal dari kisah perempuan ini.

 

“Tapi Umi…suamiku tidak sesoleh nabi Ibrahim. Dan aku juga tidak sempurna seperti Siti Hajar. Aku hanya perempuan biasa. Umurku sudah kepala empat, sudah tua. Aku ingin tenang memiliki suamiku sendiri. Paling tidak aku punya hak atas dia. Apalagi lebaran tahun ini ditengah pandemi. Suasana sangat sepi. Aku merasa kesepian Umi”…tanggis Nisa tak terbendung lagi.

“Aku ingin cerai!” suara Nisa meninggi.

“Jangan…jangan minta cerai Nis. Pikirkan lagi…meski suamimu tidak sesoleh Ibrahim, tidak bisa berlaku adil, tidak membuatmu bahagia. Bertahanlah. Minta keridhoannya. Karena ridhonya suami adalah ridhonya Allah. Jadikan suami sebagai tameng atas dosa-dosa kita di dunia.” Ujarku sedikit menasehati.

“Maksud Umi?” Nisa memandangku serius. Aku tersenyum, saatnya memberitahu Nisa sebuah rahasia. Rahasia perempuan yang sudah menikah dan tak merasa bahagia dalam pernikahannya. Untuk semua perempuan yang berstatus isteri. Menjadi isteri pertama, kedua, ketiga atau ke empat bukanlah aib. Karena islam mengizinkan dan mengatur hal tersebut dalam Alquran surat An Nisaa ayat 3. Apa rahasia besar itu? Jadikan suami sebagai tameng!

“Fungsi primer suami itu adalah untuk jadi tameng bagi dosa-dosa kita di neraka. Saat kita dapat ridho dari suami, maka semua dosa-dosa kita langsung dimaafkan sama Allah atas keridhoan suami tersebut. Jadi, suami duduk diem aja, itu sangat manfaat, tinggal kita aja gunakan fungsinya dengan maksimal. Lakukan apapun yang terbaik yang bisa dilakukan untuk dapatkan ridho suami. Dalam sebuah hadits shohih disebutkan ’Ayyumam roatin maatat wa zaujuha ‘anha roodhin dakholatil jannah’  Yang artinya ’Seorang istri meninggal dunia dan suaminya ridho sepenuhnya kepadanya, maka langsung masuk syurga’. Selebihnya, itu cuma fungsi-fungsi sekunder dari suami. Kejar dulu yang utama ini. Suami ngga kasih nafkah ya ngga apa-apa, yang penting sudah jadi suami Nisa. Jangan lepaskan, jangan dicerai. Biarkan dia jadi tameng saja bagi neraka. Kalau cerai, nanti Nisa langsung berhadapan dengan api neraka. Dosa-dosa  ngga ada yang menghapusnya, kecuali amalan Nisa sangat spesial dan udah ngga ada dosa sama sekali. Nisa tinggal cari ridhonya Pak Ahmad. Kalau memang Nisa selama ini yang cari nafkah ya ngga apa-apa. Semua harta yang Nisa berikan ke anak dan rumah tangga itu semuanya terhitung sedekah yang sangat mulia. Jauh lebih mulia daripada sedekah ke anak yatim.”

”Koq bisa lebih mulia dari anak yatim?”

”Ya karena anak yatim ini bukan bagian dari hidup kita. Memberikannya adalah sedekah yang hukumnya sunnah. Sementara suami, sudah terikat dengan akad nikah, sudah menjadi bagian dari Nisa. Silahkan dibagi sedekah untuk orang lain dengan sedekah untuk keluarga, tapi yang untuk keluarga, itu yang lebih utama.”

”Tapi, kalau suami zalim bagaimana? Dia bukannya miskin Mii…tapi duitnya untuk isteri pertama semua. Dia anggab aku ini sudah mandiri, bisa cari uang sendiri. Tapi aku kan punya hak untuk dinafkahi Mii”

”Ya ngga apa-apa juga. Tetap dipertahankan. Karena semua perbuatan zalim akan kembali kepada yang melakukannya. Suami akan menanggung akibat yang dilakukannya. Siksaan Allah sangat pedih bagi suami yang tega menyakiti keluarganya. Sementara Nisa fokus aja terus cari ridhonya suami.”

 

“Jadi…sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?”

“Sampai Allah mengizinkan suamimu kembali dan membuatmu tersenyum ceria. Belajarlah dari Siti Hajar!” jawabku mengakhiri diskusi terapi hari ini.

Selamat Idul Adha 1441 H. Perempuan tangguh. Perempuan bahagia.