Bu Nyai…Pelakor
“Hebat sekali Bu Nyai ini ya…serba bisa. Tapi apakah dia sadar diri jika sudah menyakiti perempuan lain dan anak-anaknya. Perlu ibu-ibu ketahui bahwa dia telah merebut suami orang. Suami dari teman pengajianku. Dasar pelakor!”
Bu Bos memberi komentar kegiatan Bu Nyai yang membantu seorang anak terlepas dari usahanya untuk bunuh diri. Ku lirik waktu di sisi kiri ponselku, pukul 23.15 wib. Hampir tengah malam. Tidak ada yang merespon ucapan Bu Bos itu, mungkin kawan-kawan grup sudah tidur atau mereka terkejut dan tak tahu harus komentar apa. Keterkejutan yang sama yang kurasakan. Benarkah apa yang disampaikan Bu Bos itu, bahwa Bu Nyai yang terkenal cerdas dan sholehah itu adalah seorang pelakor? Aku gelisah.
Aku tunggu respon ibu-ibu yang lain. Ini berita luar biasa tentunya. Harusnya akan banyak komentar. Pukul 24.20 wib, tak ada respon. Aku semakin gelisah. Ku paksakan memejamkan mata berusaha menghilangkan prasangka. Hingga azan subuh berkumandang, perasaan gelisah ini tak hilang.
Aku bangun, menuju kamar mandi, membersihkan diri dan berwudhu. Dingin air meresap dikulit sedikit mengusir rasa galau. Ku basuh muka dengan sedikit tekanan agar kantukku hilang dan mengencangkan kulit. Maklum di usia hampir kepala empat ini, kerut-kerut kecil sudah mulai mengerogoti wajah bulatku. Dan aku masih sendiri. Masih jomblo di usia 39 tahun. Kenyataan yang harus kualami. Rasa gelisah itu kembali mengayut di hati.
Subuh, dua rakaat kujalani dengan lebih khidmad. Terbayang wajah Bu Nyai yang cantik, cerdas dan disukai semua orang. Selain cantik dia gemar berbagi dengan sesama. Melalui Yayasan yang dia pimpin, ratusan anak yatim/piatu dan dhuafa mendapatkan layanan sekolah gratis. Dan ratusan lansia mendapatkan santunan serta pendampingan. Aku memujanya, mengagumi kecantikan, kecerdasan dan sikap dermawannya. Tapi status whatsapps Bu Bu Bos tadi mengusik hati nurani. Apakah benar Bu Nyai seorang pelakor?
Pelakor merupakan akronim dari ‘perebut lelaki orang’. Istilah ini diidentikkan dengan perempuan yang memicu keributan akibat merebut seorang laki-laki (suami) dari istri sahnya. Perbuatan tersebut biasanya dikenal dengan istilah selingkuh. Secara umum, istilah ini sangat berpihak kepada laki-laki karena meminggirkan peran perempuan dalam suatu hubungan. Aaah…hatiku benar-benar resah.
Selesai sholat, aku berdoa. Kali ini aku tak lagi meminta perihal jodoh pada Allah. Aku pasrah. Aku ingat pesan Bu Nyai beberapa hari yang lalu.
“Jika keinginanmu belum terkabul, perbaiki doanya. Luaskan niatnya” nasehat Bu Nyai dengan senyum khasnya. Selalu bikin adem setiap kali memandangnya. Dia punya kharisma kuat dan aku mengaguminya.
“Maksud Bu Nyai? Bagaimana meluaskan niat itu?” tanyaku tak mengerti.
“Berhenti dulu minta jodoh kepada Allah, jangan memaksa untuk terkabulnya doa. Ganti doamu dengan mendoakan orang lain yang nasibnya sama denganmu. Luaskan doamu…sebut satu per satu sahabat, tetangga atau orang lain yang belum menikah agar segera bertemu jodohnya. Sejatinya doa untuk orang lain itu adalah doa bagi diri kita sendiri.” Bu Nyai menasehati, membuatku berpikir keras. Bagaimana aku bisa mendoakan orang lain sementara doaku sendiri saja belum terkabulkan.
“Bisa jadi menurut Allah, Dinda belum siap menikah” lanjutnya.
“Belum siap bagaimana? Umurku udah hampir kepala empat Nyai. Uban sudah ada dimana-mana, pipi juga udah mulai reot dan keriput. Jodohnya aja yang belum ada” jawabku sedikit berapi-api. Mengutuk diri sendiri dengan nasib yang ku alami. Mengapa harus aku yang menjomblo? Hampir semua teman-temanku sudah dikarunia anak-anak kini, bahkan ada yang sudah memiliki cucu. Lalu dimana jodohku?
“Maksudnya, Allah tahu kau belum siap. Bisa jadi kalau sudah menikah Dinda jauh dari Allah karena sibuk ngurusi suami. Nanti Dinda tidak lagi shalat dhuha, tidak lagi ikut kajian setiap Selasa jika sudah menikah. Allah tahu itu, maka dia tunda jodohmu. Bukan tidak ada, tapi di tunda. Ingat ya…ditunda, maka bersabarlah. Doakan orang lain…rayu allah….minta padanya dengan niat yang luas” Bu Nyai mendekat dan mengelus punggung belakangku. Terasa hangat…
“Dinda tahu caranya meluaskan niat agar Allah memberikan jodoh terbaikmu?” tanyanya. Aku mengeleng…karena aku juga belum mengerti apa dan bagaimana caranya.
“Rubah doamu, begini …Ya Allah…jika Engkau berkenan berilah hamba seorang lelaki shaleh sebagai suamiku. Hamba berjanji akan lebih taat kepada-Mu dengan ketaatan pada suamiku nanti. Hamba akan menjadi teman terbaik dan ibu terbaik bagi anak-anakku kelak. Jika Engkau izinkan Ya Allah…Hamba akan mengabdi sepenuh hati meraih ridho suamiku nanti. Hamba ikhlas….Hamba pasrah ya rabb” Bu Nyai memberiku sugesti, memintaku mengulang kalimat tersebut dengan khusuk, berharap penuh pada sang pemberi kasih, Allahi rabbi.
Maka aku mengingat ingat beberapa sahabat yang kini sedang sendiri, kebanyakan mereka menjadi janda karena berbagai permasalahan rumah tangga mereka. Aku menyebut nama mereka satu persatu dan mendoakan mereka agar segera dipertemukan dengan jodoh pilihan Allah. Jodoh yang akan membawa ke Jannah, bukan karena kebutuhan semata.
Aku tidak meminta jodoh untukku, aku meminta jodoh untuk teman-temanku yang Single Parent. Mereka berjuang menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anak mereka. Perempuan Kepala Keluarga. Mereka lebih membutuhkan pendamping daripada aku. Toh…aku tidak sendiri di rumah ini, ada Kania anak yatim piatu yang tinggal serumah denganku.
Kania, gadis berumur 12 tahun yang hidup sendirian karena ayah dan ibunya meninggal kecelakaan tunggal. Aku mengajak gadis kecil itu tinggal bersamaku dan memintanya melanjutkan sekolah. Rupanya Kania hanya bersekolah sampai kelas 5 SD saja. Dia putus sekolah karena faktor ekonomi keluarga. Inilah awal aku mengenal Bu Nyai. Perempuan baik hati yang menerima Kania sekolah di Yayasannya. Sekolah nonformal yaitu paket A setara SD. Dari awal berjumpa aku sudah jatuh cinta pada kharismanya.
Ah ya….ingatanku kembali pada status whatsapps Bu Bos di grup organisasi perempuan tadi malam. Apakah sudah ada yang komentar? Apakah Bu Nyai sudah membaca? Bagaimana reaksinya? Apakah benar dia Pelakor? Segudang tanda tanya mengusik hatiku.
Aku buka ponsel dan menyalakan wifi rumah. Punyi khas tanda wa masuk ramai terdengar, maklum banyak group yang aku ikuti. Komunikasi lewat whatsaaps sangat membantu di zaman serba online ini. Aku mencari grup organisasi perempuan, membukanya. Dan….tak ada komentar. Aneh….grup ini seolah terkunci.
Aku harus menelpon Bu Nyai. Aku tidak bisa menahannya lagi.
“Assallamu alaikum Dinda, tumben telpon pagi-pagi?” suara khas Bu Nyai menjawab telponku seolah tak terjadi apa-apa. Apakah dia tidak punya kuota sehingga tidak baca status wa grup?
“Wa alaikum salam, Bu Nyai sudah baca status Bu Bos di Grup organisasi perempuan?” tanyaku tanpa basa basi.
“Belum…status apa? Masih pagi ini…belum sempat buka wa, masih sibuk berbenah di rumah.” Nah…kan, pantas saja dia tidak komentar. Ternyata dia belum buka wa.
“Itu… Bu Bos bilang kalau Bu Nyai pelakor…merebut suami temannya”
“Astaqfirullah al adzim….innalillahi wa inna illahi ….serius Din?”
“Iya…coba Bu Nyai lihat di grup, maaf ya”
“Oh ya…terimakasih infonya ya Din. Nanti saya lihat…”
Percakapan itu ku akhiri. Aku menunggu balasan Bu Nyai di grup. Apa reaksinya dengan kalimat Bu Bos yang cukup menohok itu. Apa benar dia seorang pelakor?
Hening.
BERSAMBUNG
Tinggalkan Balasan