Suami Yang Telanjang
Suami yang telanjang
“Assallamu alaikum Mii…Umi buka terapi ya? Aku lihat artikel berdamai dengan diri sendiri yang Umi upload kemarin. Perasaan wanita di artikel itu sama seperti yang aku rasakan saat ini. Aku mau juga diterapi Mii” sebuah pesan masuk ke whatsApp pribadiku. Seorang sahabat yang sering mencetak buku karya ilmiah guru-guru Sekolah Dasar melalui Penerbit Yayasan Az Zahra Kepahiang. Sebut saja namanya Melati.
“Wa alaikum salam wr.wb…Iya sudah setahun ini saya membuka layanan konseling, terapi energy” jawabku segera dengan tambahan emoji senyum, sebagai bentuk keramahtamahan.
“Aku mau mii…bisa nggak dibantu?” jawabnya lagi.
“Masih bisa ditahan perasaannya? Karena kita sedang puasa ini. Kalo konseling pasti kita bicara hal-hal yang menyakitkan dan tentang seseorang. Bisa mengurangi pahala puasa. Jika masih bisa dikendalikan perasaannya maka kita jadwalkan setelah lebaran, atau minggu depan. Namun jika perasaan itu sangat menganggu, bisa datang kapanpun Melati mau. Selagi umi tidak ada agenda di luar, insyaallah siap membantumu”
“Ini benar sudah tak tahan lagi Mi,,kalau tidak diselesaikan cepat, akibatnya sangat buruk. Oh ya, aku mau tanya juga Mi, biaya terapi berapa Mi? Aku mau sampai selesai terapinya Mi.”
“Jangan pikirkan biayanya. Sehat yang utama. Bahagia bonusnya” jawabku kembali mengirim emoji penuh cinta dilayar chat itu.
“Aku takut nggak terbayar jasanya Umi yang insyaallah endingnya bahagia itu. Tapi aku pengen banget Mi diterapi”
“Sudahlah,…Umi ini bukan dokter, hanya seorang terapis. Jangan sungkan” jawabku lagi. Nggak enak bicara tarif sama sahabat sendiri.
“Kapan ada waktu Mi?” desak Melati.
“Tengok kondisi besok ya” aku tidak berani membuat jadwal pasti karena masih ada agenda kerja yang mesti segera aku selesaikan sebelum lebaran nanti.
“Ya mi, pokoknya kalau Umi benar-benar bisa menyediakan waktu khusus untuk aku, Umi hubungi aku aja, kapanpun, insyaallah siap”
“Nggak khawatir batal puasanya?”
“Lah mi, kalau nangis batal ya??”
“Bukan karena nangisnya, karena efek terapi biasanya mual dan muntah, Jika tekanan jiwa hebat keluar…” jawabku sedikit menjelaskan efek terapi energy yang akan dilakukan nanti.
“Nggak pa-pa mi, insyaallah demi kebaikan, nanti bisa dibayar puasanya” jawabnya mantap.
Aku mengakhiri sesi tanya jawab ini karena waktu berbuka puasa hampir tiba. Aku juga harus mempersiapkan diri karena dijadwalkan ada klien yang akan datang konsultasi bakda Isya nanti. Aku berharap masalah Melati masih bisa dia tahan, dan tidak mengambil keputusan yang gegabah.
…………………………………….
Keesokkan harinya aku beraktifitas seperti biasa, duduk dikantor menyelesaikan administrasi di yayasan yang belum selesai dikerjakan. Bekerja di rumah ditengah pandemi ini cukup menyita waktu. Apalagi staf dan karyawan sudah mulai libur menjelang hari raya lebaran idul fitri yang sebentar lagi. Otomatis pekerjaan di yayasan aku handle sendirian.
Pukul 10.15 wib aku mulai jenuh dengan pekerjaan yang sedang dikerjakan. Tiba-tiba ingat dengan Melati. Mungkin ada baiknya dia datang sekarang. Untuk jedah waktu ditengah pekerjaan yang tak kunjung selesai.
“Assallamu alaikum Melati, Umi ada waktu hari ini…bisa datang?” chatku di WA pribadi.
“Waalaikumsalam, iya Mi,….aku ke PA sebentar ya. Ini sudah di Kepahiang. Bisa tunggu sebentar Mi?” jawabnya segera, jarak rumah Melati memang jauh dari kediamanku.
Tak berselang lama, datang sebuah motor memasuki halaman Yayasan, Melati turun dan langsung menghampiriku.
“Oh…sudah datang, darimana tadi?” tanyaku basa-basi sambil menutup semua file yang tadi terbuka dan segera mematikan layar computer agar bisa mendengarkan curhat Melati dengan maksimal. Tak lupa aku senyapkan nada dering hp agar tak menganggu saat konseling berjalan.
“Dari PA mii…urus perceraian” jawaban yang cukup membuatku terkejut.
“PA maksudnya Pengadilan Agama?” tanyaku untuk memastikan persangkaanku.
“Iya…aku ngadu kesana tadi”
“Ya allah sudah sampai segawat itu masalahnya?” Dia tidak menjawab tanyaku, diam sembari berusaha memberikan senyuman, senyum yang dipaksakan.
Aku mengajaknya ke ruang konseling, duduk di karpet supaya lebih nyaman, tak lupa membawa tissue. Karena pasti akan digunakan pada saatnya nanti.
Seperti biasa aku akan bertanya tentang perasaanya, “Gimana…apa yang terjadi?”
“Darimana harus cerita Mii?”
“Ceritakan saja bagaimana perasaanmu saat ini”
“Saakit” jawabnya bergetar, mengambil tissue dan mengusap air mata yang siap bercucuran.
“Apa yang membuatmu sakit?”
“Dia berhubungan dengan wanita lain. Saya nggak ikhlas Mii. Saya nggak sanggup membayangkannya Mii. Dia berbuat hal itu di rumah kami, kamar kami” tanggisnya pecah. Akupun tertegun mendengar cerita ini. Astaqfirullah al adzim ucapku dalam hati.
“Dia beli?” tanyaku hati-hati. Dia mengangguk.
“Kok tahu?” tanyaku lagi…penasaran.
“Saat itu kami sedang ribut besar, aku pulang ke rumah orangtuaku. Sebulan aku tidak menghubungi dia dan dia tidak menjemputku. Lalu kami dimediasi keluarga agar rujuk kembali. Akhirnya melalui musyawarah dengan keluarga dan perangkat desa kami bersatu lagi. Nah…saat aku kembali itulah aku lihat chat wa di hpnya. Perempuan itu mengaku baru sekali melakukan dengan suami, tapi teman-temannya ada juga yang sudah pernah tidur dengan suami. Aku hancur Mii…aku benci sekali…kami ribut lagi. Dan giliran suami yang pergi meninggalkanku. Makanya aku ngadu dan lapor sama pengadilan agama. Aku mau pisah aja Mii” dia meremas tissue sisa mengelap air mata tadi.
“Emang sudah siap benar ingin pisah?” tanyaku menguji kedalaman tekatnya.
“Enggak Mii….aku masih sayang, tapiiii…..” tanggisnya semakin menjadi. Aku pegang tangannya terasa dingin. Ini pertanda dia sedang tune ini, merasakan sakit yang luar biasa di hatinya.
Aku manfaatkan kondisi ini untuk memulai terapi. Mengetuk ngetuk titik meridian tubuh dengan dua jariku. Sembilan titik meredian selesai di tapping. Aku ulangi lagi…dia masih menangis sambil meratap, mengungkapkan kekesalan dan kekecewaannya terhadap suami. Aku tidak bicara, sibuk melapalkan doa untuk ketenangan sahabat yang sedang menderita ini. Mengalirkan energy positif melalui doa dan pengharapan hanya kepada Allah swt.
Berlahan tanggisnya reda, diapun sibuk mengatur napas dan mengelap hidung untuk melonggarkan aliran udara masuk ke paru-paru. Prosedur gamut pun aku lakukan, memintanya memejamkan mata lebih dalam, melotot dan mengerakkan otot mata. Aku minta dia bergumam tapi dia mengeleng, tidak mampu bergumam. Aku minta dia berhitung skala 1 sampai 5. Aku minta dia bergumam lagi, dia masih mengeleng pertanda tidak mampu. Ya sudah tidak apa. Aku menjeda sejenak…memberi waktu udara masuk lebih banyak untuk mengurai rasa sesak di dada. Lalu menuntunnya menarik napas dan mengeluarkan udara lewat mulut secara berlahan. Dia menurut dan tetap memejamkan mata. Kesedihan itu masih enggan pergi darinya.
Tiba-tiba dia menekan dada sebelah kiri, sedikit meringis.
“Ada apa, apa yang kau rasakan? Sakit?”
“Nyeri Mii”
“Apa lagi yang kau rasakan?”
“Kepala pusing dan bahu sakit juga, sebelah kanan”
“Bagus…itu pertanda terapinya berjalan dan bereaksi di tubuhmu. Nanti akan hilang sendiri, jangan khawatir”
“Aku ingin balas dendam Mii…supaya dia menyesal” dia membuka mata dan terlihat kesal dengan sorot marah.
“Dengan cara apa? Melakukan hal yang sama?” aku membalas tatapan tajam matanya. Dia melengos menghindari tatapanku yang menyelidik. Menunduk dan terus memainkan tissue bekas air mata tadi.
“Seharusnya dia datang dan menjemputku Mii…bukan main sama perempuan nakal. Aku juga banyak godaan selama sebulan itu. Ada beberapa laki-laki yang mendekat dan merayu. Tapi aku tahan karena aku sadar aku masih isteri orang. Nah dia….? Aku benar-benar benci Mii” ujar Melati sambil merobek tissue bekas air mata tadi.
Aku diam sejenak, menarik tapas, mengatur intonsi suaraku agar terdengar jelas dan merasuk di kalbunya. Hal penting yang perlu dia ketahui tentang hakikat kehidupan dan ketentuan Tuhan.
“Melati tahu nggak…meskipun dia melakukan perbuatan maksiat…perbuatannya itu atas izin Allah. Allah izinkan dia memilih di jalan yang salah. Dia yang memilih jalan maksiat. Bukan hanya hal baik yang terjadi dengan izin allah, namun juga hal buruk dan dosa. Dan Allah punya maksud dibalik semua itu” Melati memandangku tak berkedip, tak menyangka kalimat ini akan dia dengar. Bagaimana mungkin Allah yang izinkan? Begitu kira-kira arti tatapan matanya. Aku tersenyum dan melanjutkan kalimat tadi agar dia tidak salah pengertian.
“Apa yang terjadi dengan kita karena kesalahan kita sendiri. Allah sedang memberi kita pelajaran atas apa yang pernah kita perbuat di masa lalu. Coba diingat-ingat pernahkah Melati berpikiran buruk, menuduh, menghina atau mengolok-olok orang lain yang posisinya sama seperti yang kau rasakan saat ini. Entah itu orangtua, mertua, keluarga, sahabat atau masyarakat yang kita, mungkin tanpa disadari menyakiti hati mereka”
Melati menunduk seolah mengingat sesuatu. Dan dia menangis lagi. Dia menutup mulutnya dan mengangguk-angguk membenarkan perkiraanku.
“Ketemu jawabannya?” tanyaku pelan.
Dia terus menunduk dan menangis lagi, lebih keras dari sebelumnya. Aku diam….memberi kesempatan dia menumpahkan perasaannya lewat tangisan. Setelah reda, aku pegang tangannya…masih dingin.
“Jika jawabannya sudah ketemu, perasaanmu akan lebih baik. Umi bantu terapinya. Mau duduk seperti ini atau dikursi?” tawarku.
“Di kursi aja Mii…kakiku kesemutan”
“Baiklah…”
Aku menyiapkan dua buah kursi untuknya dan untukku sendiri. Terapi dimulai dengan kalimat set up, Ya allah…walaupun saat ini aku sedang membenci suamiku, karena dia telah berbuat maksiat. Aku merasa marah dan jijik dengan kelakuannya itu. Tapi aku terima ya allah…aku terima perasaan marah, benci dan jijik ini. Dan aku pasrahkan normalnya rasa itu padaMu. Aku ikhlas …aku pasrah. Kalimat set up ini diulangi tiga kali. Lalu dilanjutkan dengan Tune In.
Aku memintanya untuk berani membayangkan suasana suami dan perempuan itu saat berada di kamarnya. Tune in adalah merasakan emosi terdalam yang sedang terjadi pada dirinya. Tangisnya kembali pecah pertanda klimak emosinya. Aku segera melanjutkan tapping proses mengetuk titik meridian tubuh seperti gerakan totok dengan dua jari telunjuk dan jari tengah. Aku menuntunnya untuk curhat dan menerima kondisinya, namun suaranya tertahan. Dia tak sanggup berkata-kata. Akupun tak memaksa, tetap menuntunnya di sela isak tanggis yang kian menjadi. Berlahan dia terlihat rileks dan nyaman. Segera aku akhiri sesi tapping dengan tarikan napas syukur kepada Allah SWT. Adzan dhuhurpun berkumandang mengiringi sesi terapi ini.
“Umi…aku ingin pulang dan bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya Mii” lirih dia berucap diantara tarikan napasku yang belum tuntas.
“Masyaallah….ya allah….terimakasih ya allah” ucapku penuh syukur. Agak terkejut dengan sikap yang berubah drastis ini. Ya allah….duhai engkau yang maha membolak balikkan hati.
“Sudah bisa berdamai dengan hatimu? Bisa menerima dia kembali?” tanyaku untuk menegaskan isi hatinya. Dia mengangguk dan menghapus sisa airmata dengan tissue kembali.
Seperti klien lainnya aku memeluk Melati dengan mentransfer energy positif yang kupunya. “Itulah isteri…itulah isteri…sangat mudah memaafkan suami yang terlanjur berbuat salah. Isteri adalah pakaian bagi suami. Jika pakaiannya lepas…isteri pergi, maka suamipun telanjang. Karena ketelanjangan itulah maka dia berbuat maksiat. Maka tutupilah tubuh suamimu dengan menjadi pakaian terbaik baginya. Pakaian yang pas dan nyaman untuk dipakai. Jangan lagi lari darinya” pesanku berbisik di telingga kanannya.
“Iya Umi…iya Mii…terimakasih ya Mii. Berapa aku harus membayar terapi ini Mii?”
Aku lepaskan pelukanku dan tersenyum manis padanya, “Ini hari baik, bulan baik dan tujuan yang baik. Umi tidak mau dibayar sekarang, sedekah energy. Bayarlah dengan kabar gembira darimu nanti. Bahwa kau bahagia. Itu saja”
Diapun pulang meninggalkanku dengan senyum dan pengharapan. Gengaman tangannya sudah terasa hangat.
2 Responses to Suami Yang Telanjang