Saya mengurusi anak putus sekolah, saya tidak rela ada anak yang dikeluarkan dari sekolahnya
“Saya memang mengurusi anak putus sekolah, namun saya tidak rela ada anak yang dikeluarkan dari sekolahnya!”
Umi Yesi, Ketua PKBM Az Zahra Kepahiang merasa prihatin dengan maraknya kasus yang menimpa pelajar di Kabupaten Kepahiang akhir-akhir ini. Bayangkan baru dua bulan pertama di tahun 2020 yakni Januari dan Februari pelajar kepahiang yang tersandung kasus sudah puluhan jumlahnya. Pelajar yang beliau tangani langsung antara lain korban perkosaan 1 orang, korban kekerasan 1 orang, pergaulan bebas 2 orang, sodomi 7 orang, dan puluhan pelajar yang menonton video porno di saat jam istirahat di kelas. Nauzubillahi min dzalik.
Dan parahnya lagi sebagian besar permasalahan ini justru menimpa anak usia 12 hingga 15 tahun, yang rata-rata masih sekolah di tingkat SD dan SMP. Tingginya kasus anak ini menjawab tanda tanya mengapa peserta didik yang mengikuti sekolah paket B dilembaganya meningkat tiap tahunnya. Bahkan tahun pelajaran 2019/2020 jumlah peserta didik paket B sebanyak 103 anak, usia 12 s.d 18 tahun.
Tingginya angka kasus yang menimpa pelajar ini perlu menjadi bahan renungan dan upaya pemecahan masalah bersama. Ini tanggungjawab kita semua, orang tua, guru, masyarakat dan Pemerintah Daerah. Salah satu penyebab maraknya kasus sodomi dan pergaulan bebas adalah lemahnya pengawasan orangtua, guru dan masyarakat serta Pemdanya.
Titik kasus tertinggi terjadi di Kecamatan Kepahiang sebagai Kecamatan induk. Hal ini dikarenakan anak tidak tinggal dengan orang tua melainkan kost/kontrak atau dititipkan dengan family lainnya. Kurangnya pengawasan dan kontrol orang tua ini menyebabkan perbuatan asusila mudah merebak dikalangan pelajar kita. Jikapun tinggal bersama orang tua, anak tetap sendiri di rumah karena orangtua sibuk bekerja terutama menjelang musim tiba. Kasus sodomi banyak terjadi di kost-an karena masyarakat tidak curiga melihat sesama laki-laki ngumpul dalam ruang kostnya.
Guru sebagai orangtua kedua bagi siswa juga sangat menentukan karakter anak. Sebab selain sebagai pengajar, sudah seharusnya guru juga menjadi seorang pendidik, yang artinya menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan akhlak yang baik. Menjadi guru tidak saja bertanggungjawab terhadap permasalahan akademis, namun juga pada perkembangan psikologis dan kepribadian siswanya. Seorang pendidik sudah pasti bisa mengajar, namun seorang pengajar belum tentu bisa mendidik. Seorang guru dituntut untuk dapat melakukan keduanya; mengajar dan mendidik. Seringkali seorang guru terjebak pada sistem dan kebiasaan sehingga lebih dominan berperan sebagai seorang pengajar dan bukan pendidik.
Mirisnya, justru ketika guru mendapati anak didiknya memiliki kasus mereka ramai-ramai memberikan vonis “mencemarkan nama baik sekolah”. Dan bisa ditebak solusi apa yang mereka lakukan terhadap anak-anak tersebut, DIKELUARKAN!
Apakah jika anak dikeluarkan masalah akan selesai? Bukankah itu artinya melempar masalah sekolah kita ke sekolah lainnya? Mengapa pihak sekolah seolah mau enaknya saja, cuci tangan dengan kasus-kasus yang menimpa anak didiknya.
“Saya memang mengurusi anak putus sekolah, namun saya tidak rela ada anak yang dikeluarkan dari sekolahnya!” tegas Umi Yesi sampaikan di setiap kegiatan sosialisasi perlindungan anak di sekolah-sekolah yang mengundangnya sebagai narasumber.
Tahun 2019, Kabupaten Kepahiang mendapat gelar Kota layak anak atau Kabupaten Ramah Anak. Apakah gelar tersebut masih bisa kita pertahankan di tahun 2020? Wallahu alam bishowab.
Tinggalkan Balasan