Duhai Cinta, Aku Pulang
Bertemu dan ngobrol dengan perempuan calon penulis di kelas sabusabu adalah hal yang biasa bagiku.
Mendengar keluh kesah atau sekedar curhatpun adalah hal yang tak asing bagiku.
Namun, ada yang tak biasa terjadi pada kisah perempuan perempuan hebat yang kutemui hari ini.
Kisah tentang cinta, cinta yang terperangkap dalam jiwa. Dan upaya keras mereka untuk menemukan jawaban atas segudang tanya tentang cinta.
“Umi, apakah cinta harus memiliki? Tidak bukan? Tidak semua cinta bisa kita miliki,” tanya perempuan muda pengelola TBM Pelita Bangsa ini. Perempuan energik dengan aura positif yang terpancar dari wajahnya.
Dia bertanya, dia pula yang menjawab, “Tidak semua cinta harus memiliki, iya kan Mii?” tanyanya lagi meminta pembenaran.
“Oh..nggak dong…kalo cinta dan memang benar benar cinta justru harus saling memiliki. Memiliki di sini bukan berarti dia harus selalu ada di sisi kita. Cinta itu keyakinan, ada ikatan yang tak terlihat namun sangat kuat mengikat kedua insan yang mencinta.”
Belum selesai penjelasanku tentang cinta, seorang perempuan macho disamping kananku berteriak, “Yes….! Cinta itu ikatan hati. Keren banget Umi. Ini yang aku tunggu-tunggu” jawab perempuan itu sembari mengepalkan tangan dan meninju tepi dinding rumah makan, tempat kami sedang diskusi.
Spontan kami tertawa melihat reaksinya itu. Sebut saja namanya Ani. Beliau volunteer di TBM Pelita Bangsa. Perempuan berpenampilan macho yang nampak unik dan berbeda dengan wanita kebanyakan.
“Umi, aku ingin bicara cinta melalui gemericik air. Kenapa dengan air? Bisakah menghitung air yang sedang berirama itu? Tentu tidak kan? Begitulah besarnya cintaku padamu. Sebanyak air yang tak bisa kau hitung itu”
Aku terkesima dibuatnya. Pandai dia merangkai kata, ucapku dalam hati.
“Cie ….cie…cie, begitu dalam cinta itu merasuk dalam kalbu, hingga aku tak bisa bernapas tanpamu,” tambah Santi, tutor PKBM Songgo Langit menimbali puisi cinta Ani tadi
“Eh ….lagi ngomongin apa sih? Bisa diulang nggak?” celetuk Bu Rini Pengelola PKBM Cendikia Ananda.
“Ada deh!” jawab Ani dan Santi berbarengan. Timbullah gelak tawa mereka memenuhi ruangan. Beberapa tamu yang sedang makan menoleh kearah kerumunan perempuan yang asyik bicara cinta ini.
“Aku suka membuat puisi. Mengungkap rasa melalui untaian kata. Meski terkadang sering disalahartikan. Dan sudah lama aku tidak menuangkan rasa itu. Aku takut orang bilang sok romantis, lebay atau menuju kegilaan.” papar Ani lagi.
“Mengapa harus memikirkan perasaan orang lain? Jadilah dirimu sendiri. Jika engkau suka menulis puisi, buatlah. Itu caramu berdialog menyampaikan isi hati. Tak usah pikirkan penilaian orang lain. Agar hidup tidak dibayangi oleh orang lain. Hiduplah merdeka, dengan keistimewaan yang kau punya.” jawabku berfilosofi.
“Oke, siap Umi. Aku akan kembali. Tapi dengan Dia yang berbeda!” jawabnya sigap dan percaya diri.
“No ..bukan kembali dengan Dia yang berbeda. Tapi kembalilah dengan dirimu yang berbeda”
“Duhai Cinta, Aku Pulang” jawab Santi memberi inspirasi.
“Wahai Cinta, Aku Pulang, Tapi pulang dengan aku yang berbeda!” Ani menyempurnakan.
“Good…bisa jadi judul buku ni,” Jawab Ketua TBM Pelita Bangsa.
“Yup…akan kutulis kisah cinta ini. Sayang aku kembali….” balas Ani lagi. Kamipun tertawa bersama sama tanpa menghiraukan pengunjung lain yang melirik kearah kami.
Biarlah kisah ini abadi.
Catatan kecil di rumah makan Kampoeng, Senin, 28 Juni 2021.
2 Responses to Duhai Cinta, Aku Pulang