27.5% Calon PPK Perempuan Siap Diwawancara, Waspadai Pertanyaan Gender Bias
Kepahiang. 3/2/2020. Waspadai Pertanyaan Gender Bias
Hari ini, Senin, 3 Februari 2020, KPU Kabupaten Kepahiang telah mengumumkan hasil seleksi tertulis calon anggota PPK se-Kabupaten Kepahiang. Bila dicermati jumlah laki-laki dan perempuan yang lulus 10 besar adalah 58 orang laki-laki dan 22 orang perempuan. Artinya ada 27.5% keterwakilan perempuan yang lulus seleksi tertulis. Jumlah perempuan yang lulus tertinggi di Kecamatan Ujan Mas dan terendah di Kecamatan Bermani Ilir sebagaimana tabel dibawah ini.
No | Kecamatan | Jml Total | Jumlah | Persentase (%) | ||
Laki-Laki | Perempuan | Laki-Laki | Perempuan | |||
1 | Merigi | 10 | 6 | 4 | 60 | 40 |
2 | Ujan Mas | 10 | 5 | 5 | 50 | 50 |
3 | Kabawetan | 10 | 7 | 3 | 70 | 30 |
4 | Kepahiang | 10 | 8 | 2 | 80 | 20 |
5 | Tebat Karai | 10 | 8 | 2 | 80 | 20 |
6 | Seberang Musi | 10 | 7 | 3 | 70 | 30 |
7 | Bermani Ilir | 10 | 9 | 1 | 90 | 10 |
8 | Muara Kemumu | 10 | 8 | 2 | 80 | 20 |
Total | 80 | 58 | 22 | 72.5 | 27.5 |
Menanggapi pengumuman tersebut, Umi Yesi Ketua DPC Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI) Kabupaten Kepahiang mengucapkan terimakasih kepada KPU Kabupaten Kepahiang yang telah bekerjakeras mensosialisasikan dan merekrut calon PPK perempuan. Meski belum memenuhi kuota 30% perempuan yang lulus tahap seleksi tertulis, namun hasilnya cukup mengembirakan. Ada dua nama perempuan yang memiliki nilai tertinggi yaitu Ades Salama Fatia dari Desa Barat Wetan Kecamatan Kabawetan dan Deliza Purnamasari Desa Cirebon Baru Kecamatan Seberang Musi.
Tahapan selanjutnya adalah tes wawancara yang akan dilaksanakan mulai Sabtu s.d Senin, 8-10 Februari 2020. Menghadapi tes wawancara tersebut Umi berpesan agar calon PPK perempuan dapat mempersiapkan diri, terutama dalam menghadapi pertanyaan yang gender bias.
Gender bias adalah sebuah anggapan yang memihak salah satu jenis kelamin baik itu laki-laki maupun perempuan. Misalnya, kaum laki-laki dianggap lebih cocok untuk bekerja di luar sebagai Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan kaum wanita dianggap lebih cocok untuk memelihara rumah tangga dan melakukan pekerjaan domestic saja.
Tentu saja gender bias tersebut berdampak negatif terhadap kaum perempuan yang ingin ikut serta dalam pesta demokrasi dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu serta Bupati dan Wakil Bupati Kepahiang Tahun 2020. Selama ini perempuan di Kepahiang selalu dinomorduakan dalam hal mendapat kesempatan menjadi penyelenggara pemilu baik tingkat Kabupaten, Kecamatan hingga Desa.
Sesi wawancara merupakan tahap perekrutan yang paling menentukan sehingga banyak kandidat yang gugup ketika menjalaninya. Banyak yang mengatakan bahwa pada proses wawancara kerja perempuan cenderung mendapatkan pertanyaan yang lebih sulit dibanding kandidat pria. Anggapan ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Sebuah penelitan yang diterbitkan oleh Social Sciences membuktikan bahwa ketika mewawancara pelamar perempuan, laki-laki menyela pembicaraan dua kali lipat lebih banyak. Hal ini adalah suatu tanda dari gender bias di mana pewawancara tampak meragukan jawaban dari pelamar perempuan.
Tidak jarang dalam sebuah wawancara, pewawancara membombardir perempuan dengan pertanyaan yang sulit. Tujuannya adalah menantang kandidat perempuan untuk membuktikan kemampuan. Perlakuan serupa jarang sekali dialami oleh kandidat pria. Jumlah pertanyaan yang dilontarkan pada kandidat perempuan pun cenderung lebih banyak. Perbedaan perlakuan ini dianggap mengarah ke gender bias yang merugikan kaum perempuan.
Berikut adalah pertanyaan gender bias yang perlu diwaspadai oleh perempuan calon PPK:
Pertama adalah tentang tanggung jawab sebagai orang tua. Dalam sebuah wawancara seringkali pewawancara menanyakan apakah pelamar sudah mempunyai anak atau dalam waktu dekat berencana untuk mempunyai anak. Jika pelamar masih single, biasanya pertanyaan yang diberikan adalah apakah ia akan berencana untuk menikah dalam waktu dekat atau tidak. Pertanyaan tentang status pernikahan dan anak seringkali diajukan pada pelamar perempuan karena asumsi bahwa wanita yang telah mempunyai anak cenderung akan mementingkan anak-anaknya. Misalnya mereka akan meninggalkan kantor lebih cepat karena harus menjemput anak-anak sekolah. Saat anak sakit, ibu juga akan cuti dari kantor. Hal tersebut biasanya tidak terjadi pada pria.
Kedua, ada gender bias terkait kemampuan kepemimpinan. Kebanyakan perkerjaan membutuhkan aspek leadership. Secara alami, pria dianggap mempunyai jiwa kepemimpinan yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Banyak contoh nyata yang mendukung statement ini. Lihat saja di sekitar kita. Pimpinan-pimpinan perusahaan kebanyakan adalah pria. Padahal belum tentu semua pria memiliki kemampuan managerial dan kepemimpinan yang lebih baik daripada wanita.
Ketiga, gender bias bisa terjadi karena anggapan bahwa perempuan dianggap tidak begitu baik dalam mengolah emosi mereka terutama dalam dunia kerja. Inilah yang menyebabkan banyaknya pertanyaan yang menguji emotion management pada saat wawancara kerja. Padahal setiap orang, terlepas apa jenis kelaminnya, mempunyai level atau tingkat emosi yang berbeda. Banyak pria yang sebenarnya memiliki emotional intelligence yang lebih rendah daripada wanita. Tetapi karena stereotype yang berkembang adalah perempuan cenderung lebih emosional, maka anggapan umum yang berlaku pun demikian.
Sepertinya banyak orang yang belum menyadarai bahwa perbedaan biologis atau gender tidak ada hubungannya dengan kemampuan dalam bekerja. Justru jika mempunyai tim dengan background berbeda termasuk jenis kelamin yang berbeda akan memberikan lebih banyak keuntungan. Latar belakang yang berbeda akan menghadirkan sebuah perspektif baru.
Terakhir, Umi Yesi berharap kepada KPU Kabupaten Kepahiang, “Saya yakin Perempuan bisa bersaing dengan pria dalam test wawancara calon PPK nanti. Tidak seharusnya gender bias membuat mereka tersingkir. Objektivitas KPU harus lebih digalakkan karena nyatanya banyak perempuan yang sukses menunjukkan prestasinya. Semoga kuota perempuan terpenuhi di setiap Kecamatan yang ada”
Tinggalkan Balasan