Dalam Jeda Perjalananku
Dalam jeda perjalananku, Bengkulu – Surabaya. Aku duduk di ruang tunggu transit C6 Bandara Soekarno Hatta. Saat itu disampingku ada seorang Kakek tua yang sudah duduk duluan dan hanya memandang lurus ke depan. Awalnya aku tidak berniat untuk mengajaknya berbicara, dan lebih memilih membaca buku “One person, multi career” yang baru saja ku beli di Mega mall Bengkulu beberapa hari yang lalu. Aku selalu menyempatkan diri untuk membaca buku-buku motivasi, spiritual dan etos kerja di kala waktu sengang perjalanan.
Beberapa saat kemudian Kakek tua tersebut mengeluarkan obat tetes mata dari tas ranselnya. Sekilas aku melirik apa yang dia lakukan tersebut dan membaca merk obat tetes yang sedang dia pakai. Spontan aku bertanya “Bapak habis operasi mata ya?”. Kakek tersebut mengangguk sedikit sambil mengedip-ngedipkan matanya untuk menghilang nyeri akibat efek obat tetes tersebut. Aku mengenal jenis obat tersebut karena setahun yang lalu aku juga menggunakannya untuk menormalkan mata yang minus 5 (- 5) dan silender yang cukup menyiksa.
Pertanyaan awal tadi mencairkan suasana di antara kami. Dia bercerita bahwa baru selesai operasi mata karena ada syaraf mata sebelah kanan yang putus akibat kecelakaan bermotor 3 tahun yang lalu-aku lupa nama penyakitnya. Gejala yang dialaminya adalah kebutaan mendadak di sebelah matanya. Saat aku bertanya mana keluarga yang mengantar dia saat operasi. Jawabnya sungguh diluar dugaan dan kelaziman kita sebagai muslim yang baik. Dia berangkat dari Padang-Sumatera Barat menuju Rumah Sakit Islam Jakarta sebulan yang lalu tanpa kawalan. Sendirian…??? ya…tidak ada satupun anggota keluarganya yang menyertai padahal 1 bulan dia dirawat dan ada 2 hari pasca operasi dia tidak bisa bergerak sama sekali. Untunglah layanan tim medis di sana sangat baik dan memuaskan. Ada 2 orang tim medis laki-laki yang menemani dan melayani kebutuhannya.
Berkecamuk perasaanku, antara kagum dengan kemandiriannya menghadapi operasi tanpa kawalan keluarga dan kegeraman dengan sikap ketidakpedulian keluarganya. Bagaimana mungkin ada keluarga yang tega tidak merawatnya pasca operasi, alangkah durhaka sang anak yang membiarkannya berangkat sendirian naik pesawat kelas ekonomi tanpa pengawalan dan dalam kondisi sakit pula. Lalu dimana pula peran sanak keluarga yang lainnya???
Sepanjang perjalanan, tanda tanya besar tersebut terus bermain di benakku. Dan pertanyaan tersebut tak terjawab sebab beberapa saat kemudian suara pramugari pesawat Sriwijaya Air yang merdu telah memanggilnya untuk melanjutkan perjalanan. Tinggallah aku sendiri memandang resah pada sosok tua yang memunggungiku tersebut. Gairah membacapun sirna, dan aku memilih diam sambil menulis beberapa kalimat yang sedang aku rasakan saat itu.
Tiga hari di Surabaya mengikuti kegiatan orientasi lembaga penyelenggara program Pendidikan Keluarga Berbasis Genderpun berakhir. Aku bertolak ke Jakarta naik travel dan langsung menuju Rumah Sakit Patria IKKT untuk menjenguk adikku yang sedang di rawat di sana. Dia kena Demam Berdarah dan gejala thipus. Sampai di sana, kondisi adikku sudah membaik. Selang infus sudah dicabut, meninggalkan bercak biru pada kulitnya. Namun ia masih terbaring lemah di tempat tidur. Kedatanganku di sambut dengan senyum dan binar mata bercahaya sehingga pucat wajahnya tersamarkan. Selayaknya kakak yang baik, aku mengurus adikku dengan suka cita. Menyuapi makannya, bercerita tentang betapa kuatirnya ayah dan ibu di kampung serta membereskan semua administrasi rumah sakit saat ia telah diizinkan pulang. Sesampai di kost aku juga segera merapikan kamarnya yang agak berdebu, mencuci pakaian kotor selama di rumah sakit dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada sanak saudara serta teman-teman kost adikku yang telah membantu dan merawat adikku sebelum kedatanganku. Aku minta izin tidak kerja selama 3 hari demi menemani adikku. Dan ketika dia sudah benar-benar pulih, barulah aku pamit pulang ke Bengkulu karena anak-anakkupun sudah rindu masakan ibunya.
Dan ketika chek in dari Jakarta menuju Bengkulu memoriku teringat kembali pada sosok laki-laki tua yang pulang pergi sendirian tanpa keluarga. Dalam hati aku berdoa semoga di kampung halamannya dia di sambut hangat oleh sanak keluarga. Diperhatikan segala kebutuhannya, dihibur oleh tingkah lucu cucu-cucunya dan di sayangi isteri dan anak-anaknya.
Dalam jeda perjalananku, aku belajar tentang empati. Aku belajar memahami arti memiliki keluarga sejati dan aku mengajakmu untuk tak menelantarkan orang-orang di sekitarmu. Mari tebar kasih dan peduli sesamamu. Buku “One person, multi career” pun kembali ku buka, membacanya dengan penuh minat sembari menunggu suara merdu pramugari Lion Air memanggil.
( 5 Mei 2013)
Tinggalkan Balasan